Rabu, 07 November 2007

Cerita Tentang Mimpi dan Cinta

Cerpen Romi Mardela

Dari suatu perbincangan di sore hari, saat-saat gembira menyambut kedatangan kekasih, yang singgah untuk pergi dan takkan kembali.
Ku bercerita padanya tentang malam, tentang bintang, dan tentang mimpi bintang di gelap malam.
Kukatakan tentang mimpi di penghujung sore, pada hari ketujuh di bulan ke tujuh tahun ini. Kataku, sebuah negeri yang indah, sebuah negeri yang makmur, dan sebuah negeri yang merdeka berawal dari mempunyai mimpi tentang menjadi sebuah negeri yang indah, makmur, dan merdeka. Hanya dimulai dari mimpi, dari keinginan dan dari cita-cita serta harapan, sehingga semuanya dapat terwujud.
Saat kukatakan itu, ia tidak percaya. Ia katakan padaku bahwa sebuah negeri merdeka bukan karena manusia seperti diriku yang punya mimpi, tapi karena orang-orang yang berbuat, berjuang, melakukan sesuatu yang lebih baik dan tidak memilih untuk bermimpi. Kata dia, negeri ini tidak membutuhkan orang-orang yang kesiangan karena selalu bermimpi dan hanya mencoba untuk bermimpi. Menurutnya aku akan tersesat lebih jauh jika terus berjalan di dalam mimpi, dan negeri ini sudah kenyang dengan orang-orang yang selalu bermimpi dan tak pernah berbuat sesuatu untuk mimpinya itu. Buat apa bermimpi, bentaknya.
Kemudian kubalas ucapannya. Kukatakan padanya, bahwa Soekarno akan memilih sepuluh orang generasi muda untuk mengubah dunia. Ia membutuhkan pemuda yang bakal menjadi pemimpin kelak di masanya sendiri. Dan menurut Soekarno, sebuah negara tidak akan kekurangan pemimpin selagi generasi mudanya mencintai alamnya sendiri serta semua yang ada di gunung-gunung yang menjulang tinggi di setiap sudut negeri ini. Itu sebabnya, kenapa aku memilih alasan bahwa aku takkan getir sekalipun meski maut menunggu semasa ku berada di puncak tertinggi negeri ini, di setiap gunung yang menembus langit. Karena kutahu ketika aku tidak melakukan sesuatu untuk negeri ini, untuk alam ini dan untuk gunung-gunung ini, selama itu pulalah aku tidak akan pernah belajar mencintai negeriku, dan mencitai para pahlawan yang telah berjuang untuk menyelamatkannya serta menjaganya agar tetap menjadi milik generasi yang akan datang di masa yang akan datang pula.
Kali ini ia tidak menjawab, namun hanya membalas ucapanku dengan seuntai senyuman yang kutahu lebih berarti menyindir ucapanku.
Baiklah, kuberkata lagi padanya, masih tentang hidup yang mencitai arti kehidupan. Menurutku negeri ini hanya butuh orang-orang yang penuh semangat untuk berbuat lebih baik bagi negerinya. Dan harapan itu berada pada dada, pada jiwa, pada hati generasi muda. Untuk itu menurutku, aku mampu melakukan sesuatu yang lebih baik. Teman-temanku serta anak-anak lainnya yang ada di seluruh penjuru negeri ini, mampu melakukannya. Kukatakan padanya, tidakkah kau percaya, bahwa hanya orang-orang seperti kita bangsa ini memiliki kepercayaan lagi serta mempunyai arti di tengah-tengah gemerlap laju perjalanan panjang negara lain.
Dia masih diam dengan pikirannya sendiri yang ia permainkan untuk mencari sesuatu yang menurutku akan ia gunakan sebagai tangkisan ucapanku. Ya, sudahlah ia sudah sibuk dengan pikrannya sendiri. Lebih baik ku diam, dan berpikir apa kata selanjutnya yang ku pilih buatnya.
Sudahlah, ternyata ia lebih dulu berujar, katanya cuci kakimu dan segeralah menyembunyikan diri di balik selimut di atas ranjang cinta yang engkau rajut sendiri agar selalu bermimpi untuk membuat dunia lebih berarti.
Menurutnya, ucapanku hanyalah kisah klise penyenang si kecil sebelum tidur seperti mendengar dongeng pahlawan yang berasal dari negeri seberang dan bukan dari negeriku, yang didambakannya agar selalu menang.
Bagaimana menurutmu, tanyanya padaku. Sedang kau masih setia dengan mimpi-mimpimu, yang lainnya telah jauh meninggalkanmu dan bahkan tidak ingin kembali ke negerimu untuk sekedar bermimpi seperti yang kau lakukan.
Aku tahu itu. Giliranku berkata menangkis ucapannya tentang orang-orang yang tidak pernah kembali ke negeri ini yang menurutku lebih tepat disebut pengkianat. Kukatakan padanya itu bukanlah mereka dengan tubuh mereka. Itu hanyalah onggokan daging berjalan tanpa ada mereka di dalam dirinya sendiri. Itu hanya tubuh yang dikemudikan ruang dan waktu dari dunia lain. Kasihan aku memandang orang-orang yang tidak berjalan dengan tubuhnya sendiri pun dengan dirinya sendiri, melainkan berjalan dengan tubuh dan diri milik yang lainnya. Hahahaha…. Tawaku lepas seketika.
Pendapatku tentang tubuh-tubuh yang bukan milik tubuh-tubuh itulah yang mesti aku cari untuk kemudian mengingatkan pada tubuh-tubuh itu bahwa setiap orang yang ada di tubuh-tubuh itu pun berhak untuk memilih apa saja dan juga berhak untuk menjadi siapa pun. Akan aku yakinkan bahwa yang seharusnya dilakukan setiap tubuh-tubuh itu adalah memulai sesuatu untuk berbuat lebih baik bagi negeri ini bukannya hanya untuk tubuh-tubuh mereka pula. Untuk itu kembali kuingatkan padanya, yang mesti kita hargai adalah orang-orang yang telah berbuat lebih baik untuk negeri ini, berjuang untuk anak-anak yang kelak melanjutkan mimpi, cita-cita serta harapan di masanya nanti, bukan orang-orang dengan tubuh-tubuh yang ketika tidak merasa nyaman pada negerinya lebih memilih untuk meninggalkan bukan memperbaikinya. Sebegitu pengecutkah mereka, pikirku. Sebegitu telah menghilangnya mereka dari tubuh mereka sendiri. Ah, tidak kurasa berbeda, tapi kutak tahu apa.
***
Ia hanya diam, dan yang kutahu ketika ia diam, gilirankulah bicara.
Aku sadar bahwa aku telah salah bercerita tentang cinta punyaku padamu. Aku menyadari ketika kau datang kembali kepadaku dengan membawa cinta punyamu dihati, bukan untuk mendengar kobaran nasionalismeku yang menggebu yang malah kau anggap klise dan lebih tepat sebagai makanan veteran dipenghujung senja di lorong-lorong panti jompo perkumpulan mereka.
Aku hanya ingin kau menyadari, bahwa ketika hidup telah menyadari bahwa kehidupan membutuhkan sesuatu yang hidup pula sebagai teman hidupnya, disaat itulah ia akan menyadari bahwa ia harus melakukan sesuatu yang berarti bagi hidup yang mendapingi kehidupannya itu. Dan semua yang telah kumulai dengan cinta, ketika itu kumenyadari bahwa cinta bukan hanya milik seseorang yang kukasihi dan kusayangi melainkan cinta akan selalu ada untuk setiap ruang dan waktu yang kita lewati. Semuanya, cinta: itulah yang berarti untukku.
Berbagi bersama cinta untuk sebuah kehidupan yang berasal dari mimpi, cita-cita dan harapan, takkan pernah ada habisnya, kataku meneruskan ucapan yang tadi sudah kurasakan mulai singgah di otaknya atau hatinya atau pun jantungnya, karena kulihat mata, kulitnya serta suhu tubuhnya mulai berbeda dan berpendar ke sekitarnya yang kuyakin semua merasakan sebuah kehangatan cinta.
Perjuangan baru dimulai. Kataku lagi. Aku takkan memilih untuk menghentikannya sebelum kumengetahui seberapa besar kubisa berbuat sesuatu yang berarti dan bermanfaat bagi kehidupan yang dimiliki setiap insan yang akan selalu tumbuh di ranah pertiwi.
Ia pun kemudian berkata.
Kau banyak berubah. Kedatanganku ke kotamu yang kuharapkan dapat mengubah keputusanku untuk meninggalkan kota ini selamanya, malah berbuah kekecewaan. Perbincangan kita hanya mendatangkan luka baru bagiku dan membuatku memiliki sebuah simpulan bahwa kau tidak pernah benar-benar menginginkanku bertahan di kota ini.
Buliran air matanya tak menghentikan ucapan yang perlahan keluar dari mulutnya. Aku tahu kita tidak pernah bersikap sama tentang bagaimana cara memandang hidup yang singkat ini. Aku menyadari semenjak ku mengenalmu pertama kali ketika kita berbincang di beranda rumahmu. Kala itu kau berkata alangkah berdebarnya hatimu menanti saat-saat pendakian pertamamu pada gunung yang telah menelan banyak nyawa itu. Perasaanmu untuk menaklukkan gunung lebih mengharu biru daripada menyambut kelahiran keponakanmu yang berlangsung pada waktu itu. Tapi hal itu semua tidak pernah kupersoalkan, karena kumenganggap itu hanyalah sebagai sebuah arogan dari seorang laki-laki di depan wanita seperti ku yang pada waktu itu tiada berdaya--selain mendengar kau berkata. Sebuah sikap ingin menunjukkan betapa gagah beraninya dirimu. Meski kau menunjukkan dengan cara lain namun kutahu maksud dan tujuanmu tidak lain bahwa kau ingin berujar, aku baru akan menjadi laki-laki ketika berada di puncak tertinggi di negeri ini.
Aku tahu mungkin ini salahku juga yang tidak pernah mewanti-wanti hal ini, pun tidak pernah mengantisipasi kejadian yang seperti ini. Apakah itu buah dari mimpi-mimpi yang selama ini kau rajut. Apakah ini yang kau bilang bawah semuanya berawal dari mimpi, dan semuanya dimulai dari harapan dan cita-cita? Tidak!!!. Bagiku ini hanyalah sebagai jurang yang selalu memisahkan kita. Ini adalah sesuatu yang mencoba merenggutmu dari hatiku, dari pelukanku dan dari jiwaku. Bagiku ini adalah tangis darah yang bakal mengambil nyawaku dengan sangat perlahan dan menyakitkan--sehingga aku benar-benar menyadari betapa berartinya hidup. Tidakkah juga kau menyadarinya itu. Tidakkah kau pernah mengerti bagaimana perasaan seorang wanita yang selalu mendamba kekasihnya agar selalu berada di sampingnya yang setiap waktu bisa dipeluk dan bersandar dari lelahnya dunia. Tidakkah kau pernah mengetahui hal itu? Aku menangis sepanjang malam, aku terlalu lelah untuk selalu mengkhawatirkan keselamatanmu. Dan aku terlalu lemah dan tak pernah siap untuk mendengar sesuatu yang buruk menimpamu. Aku hanya tidak ingin kau….
Ia pun diam memilih untuk tidak melanjutkan ucapannya itu. Buliran air matanya perlahan berjatuhan di pipinya.
Sekarang aku memilih berkata.
Aku hanya ingin kekasihku bangga akan apa yang kulakukan untuk negeriku. Aku hanya ingin kekasihku bangga bahwa orang yang dicintanya rela membagi hidupnya untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi negeri ini. Dan aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku mempunyai seseorang yang mendapingi hidupku bersedia berkorban dan melakukan apa pun demi negeri ini. Namun semua ini tidak pernah benar-benar kukatakan padanya, karena kutahu ini hanya akan menambah perih hatinya yang semakin terluka. Dan aku pun berlalu bersama sepi yang dibawanya dalam hening. Bersama dingin hatinya yang membuat tubuhku kaku, dan jantungku berhenti rasanya berdebar. Hanya diam.
Telingaku mencoba meraba suara-suara yang berserakan, tapi tak pernah didapat. Siiring berhembusnya semilir angin, serak-serak perlahan, suara dari mulut gadis itu kembali terdengar.
Baiklah, aku tahu bahwa kau tidak akan pernah mengubah keputusan yang kau buat karena kau merasa telah melakukan sesuatu yang sangat berarti. Aku tahu bahwa semua yang kukatakan padamu tidak pula pernah mengubah apapun. Dan aku tahu kau memilihku untuk mengalah dalam hal ini. Tapi hendaknya kau menyadari tentang satu hal, bahwa kita tidak akan pernah lagi sejalan ketika sesuatu yang sangat prinsip tidak pernah bersatu. Dan menurutku kau akan lebih bersedia melepaskanku daripada melepaskan mimpi-mimpi tentang sebuah negeri yang indah, sebuah negeri yang makmur, dan sebuah negeri yang merdeka. Baiklah, kau akan kutinggalkan bersama mimpi-mimpi dan seluruh kenangan di setiap sudut kota yang pernah kita miliki bersama. Kota ini hanya akan menjadi kota mati di hatiku yang takkan pernah lagi kusinggahi.
Aku hanya diam, dan memilih menggumam di hati menyaksikannya berlalu dalam kepedihan dengan luka yang dalam. Ia perlahan menghilang di gelapnya malam di penghujung jalan.
Ini hanya sebuah cerita tentang malam, tentang bintang, dan tentang mimpi bintang di gelap malam untuk orang yang kucintai dan mencitaiku di penghujung sore, pada hari ketujuh di bulan ke tujuh tahun ini.
Loen…. 070807
ketika kekasih kembali
‘tuk pergi selamanya

Tidak ada komentar: